Langsung ke konten utama

AVOWAL : #1 Penangkapan dan Nelayan Muda

Ilustrasi gambar dari Google
2014
Tepi Air, Kota Teluk

“Jangan bawa saya, Pak”
“Saya jujur, saya tidak bersalah”
“Saya tidak melakukan itu, tolong dengarkan saya, saya tidak bersalah,” teriak Abdi.
Teriakannya yang sudah mulai lemah, tidak mampu menghentikan polisi yang ingin membawanya, tetapi berhasil menyita perhatian warga di sekitar tempat ia tinggal. Suasana tenang dimana kebanyakan warga sedang beristirahat menjadi ramai ketika itu. Saat itu pukul 02.00 siang.

Bak seorang penyanyi terkenal berjalan di lorong sebuah konser musik yang kehadirannya sangat ditunggu-tunggu oleh fans. Ia digiring oleh polisi ke arah mobil yang sudah terparkir di ujung gang dengan wajah tertunduk malu, tidak berani melihat puluhan pasang mata di kiri-kanan nya apalagi untuk menjawab semua pertanyaan yang mereka teriakkan. Abdi pun dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. 

Sesaat setelah itu, orang-orang di sekitar saling heran dan bertanya apa gerangan Abdi dibawa oleh polisi? Apa kesalahan yang sudah Abdi lakukan? Dimana anak, menantu, dan cucunya sekarang? Setiap warga seolah menjadi wartawan dadakan saat itu, saling bertanya tetapi tidak memperoleh jawaban. Termasuk saya. Ya, tidak ada jawaban.
______________________________________
1976
Batu Merah, Kota Teluk
(38 tahun sebelum penangkapan)

Saya Abdi. Hari ini saya berumur 12 tahun dan ini adalah hari yang paling bahagia di dalam hidup saya. Bagaimana tidak. Sudah sangat lama saya menunggu tibanya waktu ini. Sebelumnya hanya melihat ayah mendorong perahu ke bibir pantai, kini giliran saya yang melakukannya. Sembari mendorong perahu dari atas pasir putih ke bibir pantai, perasaan senang tidak bisa saya tutupi. Tidak dipungkiri wajah ini rasanya tidak henti-henti tersenyum sambil bergumam di dalam hati, “keindahan apa yang sedang menanti di tengah laut sana.” Perasaan ini muncul bukan tanpa alasan. Raut ceria dan bahagia selalu muncul dari wajah ayah selepas ia pulang dari lautan. Hal itu yang menjadikan saya selalu penasaran.

Pelan dan perlahan saya kayuh perahu dengan pendayung yang panjangnya melebihi tubuh saya ke arah belakang, sesekali saya pindahkan ke kiri dan sesekali ke kanan. Sembari mengayuh perahu saya teringat pesan ibu yang mengatakan jangan pernah menyerah pada keadaan, pastikan kamu tetap hidup dalam keadaan apapun. Sejujurnya, pesan ini membuat saya takut. Saya takut tidak mampu melakukan seperti yang ibu pesankan. Namun, saya tidak pernah menampakkan ketakutan ini di depannya. Saya tidak mau ibu kehilangan harapan lagi. Cukup sekali saja, saat kehilangan ayah tiga minggu yang lalu.
 
Ilustrasi gambar dari Google

Masih tidak jauh dari pinggir pantai, tangan ini mulai terasa penat. Setengah pohon kelapa tempat saya mendorong perahu pun masih bisa dilihat. Padahal saya selalu ingat, ayah tidak pernah menoleh ke belakang jika ia mulai mengayuh perahu. Sampai-sampai perahu ayah seakan tenggelam oleh horizon laut. Karena untuk mengayuh perahu lebih jauh tidak mungkin, saya putuskan untuk memancing di titik tempat saya berhenti. Tanpa membuang waktu saya pun langsung menyiapkan kail dengan umpan udang seperti yang pernah ayah ajarkan.

Menunggu dan terus menunggu, kail belum juga menampakkan tanda-tanda dimakan oleh ikan. Sambil menunggu, saya lihat keadaan di sekitar. Inikah suasana yang ayah nikmati saat ia mencari ikan untuk dibawa pulang? Menurut saya bukan ini. Pikir saya kalau memang suasana ini yang ayah nikmati, mungkin wajahnya tidak akan selalu ceria ketika sampai rumah. Tidak bisa bohong, angin sepoi-sepoi di laut membelai wajah seakan merayu saya untuk tidur. Ya, saya tertidur. Tetapi itu tidak lama. Teriknya matahari yang tepat di atas kepala membuat tidur saya menjadi singkat. Saya angkat kail dan ternyata umpan yang saya pasang pun juga sudah habis. Tidur singkat, umpan habis, dan tidak ada ikan yang didapat. Mungkinkah ikan di sini kenyang semua? Setidaknya itulah yang terlintas dipikiran saya. Kembali lagi saya kayuh perahu  menuju daratan.

Saya berjalan menapaki pasir putih menuju rumah. Di ujung sana saya sudah bisa melihat ibu yang duduk di kursi kayu depan rumah. Wajahnya tampak kuatir. Pasti ibu takut saya kenapa-kenapa saat di laut. Tidak ingin membuatnya semakin kuatir, saya tampilkan wajah ceria ditambah senyuman dengan lesung pipi yang juga sama dimiliki ayah. Sembari berjalan dan melihat ibu dari jauh, saya kira sesampai di depan rumah ibu akan menyerang saya dengan banyak pertanyaan. Eh, ternyata tidak. Malah kalimat santun dan lembut yang saya terima. “Ayo nak, kita masuk. Ibu sudah siapkan makanan buat kamu,” begitulah ucapnya. Spontan perasaan ini terhenyak sejenak. Di dalam hati saya berucap, “Saya sayang ibu.”

Selesai makan, saya duduk di depan rumah bersama ibu. Saya ceritakan pengalaman pertama menjadi nelayan. Ibu tersenyum mendengar cerita saya yang tidak sanggup mengayuh perahu karena penat dan pulang tidak membawa ikan. Ia memeluk saya dan berucap, “Sabar, nak. Coba lagi esok hari dengan semangat yang lebih dari hari ini.” “Ibu..ibu..ibu”, gumam saya dalam hati. Saya peluk ibu dengan erat. Langit sudah berwarna jingga yang berarti waktu magrib akan tiba. Ini adalah saat dimana kami biasanya melihat ayah berjalan membawa ikan dari ujung pesisir menuju rumah. Sekarang tidak lagi.

Letak bangunan rumah-rumah di tempat saya tinggal sangat rapat-rapat. Mungkin karena letak daerahnya yang sempit. Sebelah kirinya laut dan kanannya gunung.  Orang-orang menyebut kota ini dengan sebutan Teluk. Hampir semua warganya adalah  nelayan, hanya sedikit yang bekerja di Pemerintahan. Ya, termasuk saya sekarang sebagai nelayan. Menggantikan posisi ayah, walau kini tak sehebat ayah dalam menangkap ikan di lautan.


(bersambung)





Komentar

  1. Keren bro, ditunggu lanjutan ceritanya 😀👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. thanks mas deddy.
      siaaap mas. dipantau terus hehe :D

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer

Tahukah Kamu?

“It’s not my day”. No, Everyday is our day!

Sering Broadcast? Baca ini sebelum mengirim!